BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
1. obat anestasi umum
Usaha menekan rasa nyeri pada tindakan operasi dengan
menggunakan obat Telah dilakukan sejak zaman dahulu termasuk pemberian alcohol
dan opodium secara oral. Tahun 1846, wiiliam morton, di bostom, pertama kali
menggunakan obat anestesi dietil eter untuk menghilangkan nyeri operasi. Pada
tahun yang sama, james simpsom, diskotlandia, menggunakan kloroform yang 20
tahun kemudian diikuti dengan penggunaan nitrogen oksida, yang diperkenalkan
oleh Davy pada era tahun 1790 an. Anestetik modern mulai dikenal pada era tahun
1930 an. Dengan pemberian barbiturate thiopental secara intra vena. Beberapa
puluh tahun yang lalu, kurare pun pernah diperkenalkan sebagai anestesi umum
untuk merelaksasi otot skelet selama operasi berlangsung. Tahun 1956,
hidrokarbon halogen yang dikenal dengan nama halotan mulai dikenal sebagai obat
anestetik secara inhalasi dan menjadikannya sebagai standar pembanding untuk
obat-obat anestesi lainnya yang berkembang sesudah itu.
Stadium anestesi umum meliputi “analgesia, amnesia, hilangnya
kesadaran”, terhambatnya sensorik dan reflex otonom, dan relaksasi otot rangka.
Untuk menimbulkan efek ini, setiap obat anestesi mempunyai variasi tersendiri
bergantung pada jenis obat, dosis yang diberikan, dan keadaan secara klinis.
Anestetik yang ideal akan bekerja secara tepat dan baik serta mengembalikan
kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu, batas
keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat minimal.
Tidak satu pun obat anestetik dapat memberikan efek yang diinginkan tampa
disertai efek samping, bila diberikan secara tunggal. Oleh karena itu, pada
anestetik modern selalu digunakan anestetik dalam bentuk kombinasi untuk
mengurangi efek samping yang tidak diharapkan.
2. Anestesi lokal
Anestesi lokal menghambat impuls konduksi secara revesibel
sepanjang akson saraf dan membran eksitabel lainnya yang menggunakan saluran
natrium sebagai alat utama pembangkit potensi aksi. Secara klinik, kerja ini
dimamfaatkan untuk menghambat sensasi sakit dari-atau impuls vasokontstriktor
simpatis ke-bagian tubuh tertentu. Kokain, obat anestesi pertama, yang
diisolasi oleh niemann pada tahun 1860.
Kokain dikenal dana pengunaan klinik oleh koller, pada tahun
1884, sebagai suatu anestesi oftalmik. Obat ini kemudian segera diketahui mempunyai
kerja adiksi SSP yang kuat, tetapi seblumnya hanya digunakan sebagai anestesi
lokal secara luas selama 30 tahun. Dalam usaha memperbaiki sifat kokain, pada
tahun 1905 einorn telah mensintesis prokain, yang kemudian menjadi anestesi
lokal dominan selama 50 tahun kemudian.
Sejak 1905, sudah banyak bat anestesi lokal disentesis.
Tujuan usaha ini adalah untuk mengurangi iritasi lokal dan kerusakan jaringan,
mempekecil tosisitas sistemik, mula kerja yang cepat, dan kerja yang lama.
Likokain akhirnya merupakan obat yang paling populer, disentesis pada tahun
1943 oleh lofgren dan dinyatakan sebagai prototipe obat anestesi lokal.
Belum tersedia saat ini obat anestesi lokal yang ideal, dan
pengembangan obat baru masih terus diteliti. Namun, walaupun relatif mudah
untuk mensintesis suatu zat kimia yang mempunyai efek anestesi lokal, tetapi
sangat sulit meguragi efek toksik yang lebih kecil dari obat yang ada saat ini.
Alasan utama kesulitan tersebut adalah kenyataan bahwa toksisitas yang sangat
serius dari obat anestesi lokal merupakan perluasan efek terapinya pada otak
dan sistem sirkulasi.
B. Tujuan
·
Supaya mahasiswa memahami tentang anestesi umum dan anestesi
local
·
Supaya mahasiswa dapat membedakan penggunaan anestesi umum
dan anestesi lokal
·
Agar kita semua memahami perbedaan anestesi umum dan anestesi
local
·
Agar semua mahasiswa dapat mengetahui jenis obat-obat
anestesi umum dan lokal
BAB II
ANESTESI UMUM
A. Jenis obat anestesi umum.
Umumnya
obat anestesi umum diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena.
1. Anestetik inhalasi
Nitrogen aksida yan stabil pada tekanan dan suhu kamar
merupakan salah satu anestetik gas yang banyak dipakai karena dapat digunakan
dalam bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya. Halotan, enfluran, isofluran,
desfluran dan metoksifluran merupakan zat cair yang mudah menguap. Sevofluran
merupakan anestesi in halasi terbaru tetapih belum diizinkan beredar di USA.
Anestesi inhalasi konvensional seperti eter, siklopropan, dan kloroform
pemakaiannya sudah dibatasi karena eter dan siklopropan mudah terbakar
sedangkan kloroform toksik terhadap hati.
2. Anestetik intravena
Beberapa obat anestetik diberikan secara intravena baik
tersendiri maupun dalam bentuk kombinasi dengan anestetik lainnya untuk
mempercepat tercapainya stadium anestesi atau pun sebagai obat penenang pada
penderita gawat darurat yang mendapat pernafasan untuk waktu yang lama, Yang
termasuk :
·
Barbiturat (tiopental, metoheksital)
·
Benzodiazepine (midazolam, diazepam)
·
Opioid analgesik dan neuroleptik
·
Obat-obat lain (profopol, etomidat)
·
Ketamin, arilsikloheksilamin yang sering disebut disosiatif
anestetik.
B. Tanda dan stadium anestesi
Sejak obat anestesi umum di perkenalkan, telah diusahakan
mengkorelasikan efek dan tandanya untuk mengetahui dalamnya anestesi. Gambaran
tradisional tanda dan stadium anestesi (tanda guedel) berasal terutama dari
penilitian efek diatil eter, yang mempunyai mula kerja sentral yang lambat
karena kelarutannya yang tinggi didalam darah. Stadium dan tanda ini mungkin
tidak mudah terlihat pada pemakaian anestetik modern dan anestetik intravena
yang bekerja cepat. Karenanya, pemakaian anestetik dipergunakan dalam bentuk
kombinasi antara anestetik inhalasi dengan anestetik intravena. Namun
tanda-tanda anesthesia dietil eter masih memberikan dasar untuk menilai efek
anestetik untuk semua anestetik umum. Banyak tanda-tanda anestetik ini
menunjukkan pada efek obat anestetik pernafasan, aktivitas refleks, dan tonus
otot.
Secara tradisional, efek anestetik dapat dibagi 4 stadium
peningkatan dalamnya depresi susunan saraf pusat, yaitu :
I. Stadium analgesi
Pada stadium awal ini, penderita mengalami analgesi tampa
disertai kehilangan kesadaran. Pada akhir stadium 1, baru didapatkan amnesia
dan analgesi
II. Stadium terangsang
Pada stadium ini, penderita tampak delirium dan gelisah,
tetapih kehilangan kesadaran. Volume dan kecepatan pernafasan tidak teratur,
dapat terjadi mual. Inkontinensia urin dan defekasi sering terjadi. Karena itu,
harus diusahakan untuk membatasi lama dan berat stadium ini, yang ditandai
dengan kembalinya pernafasan secara teratur.
III. Stadium operasi
Stadium ini ditandai dengan pernafasan yang teratur. Dan
berlanjut sampai berhentinya pernafasan secara total. Ada empat tujuan pada
stadium III digambarkan dengan perubahan pergerakkan mata, dan ukuran pupil,
yang dalam keadaan tertentu dapat merupakan tanda peningktan dalamnya anestesi.
IV. Stadium depresi medula oblongata
Bila pernafasan spontan berhenti, maka akan masuk kedalam
stadium IV. Pada stadium ini akan terjadi depresi berat pusat pernafasan
dimedula oblongata dan pusat vasomotor. Tampa bantuan respirator dan sirkulasi,
penderita akan cepat meninggal.
Pada praktek anestesi modern, perbedaan tanda pada
masing-masing stadium sering tidak jelas. Hal ini karena mula kerja obat anestetik
modern relatife lebih cepat dibandingkan dengan dietil eter disamping peratan
penunjang yang dapat mengontrol ventilasi paru secara mekanis cukup tersedia.
Selain itu, adanya obat yang diberikan sebelum dan selama operasi dapat juga
berpengaruh pada tanda-tanda anestesi. Atropin, digunakan untuk mengurangi
skresi, sekaligus mendilatasi pupil; obat-obatnya seperti tubokurarin
suksinilkolin yang dapat mempengaruhi tonus otot; serta obat analgetik narkotik
yang dapat menyebabkan efek depresan pada pernafasan.tanda yang paling dapat
diandalkan untuk mencapai stadium operasi adalah hilangnya refleks kelopak mata
dan adanya pernapasan yang dalam dan teratur.
OBAT YANG DIGUNAKAN
1.
Desfluran (suprane)
Cairan: 240 mL untuk inhalasi
2. Diazepam
(generic,valium,dll)
Oral; tablet 2,5, 10 mg ; cairan 5 mg/ 5 mL
Oral lepas lambat; kapsul 15 mg
Parenteral; 5 mg/ mL untuk suntikan
3.
Enfluran (ethrane)
Cairan : 125,250 mL untuk inhalasi
4.
Etomizad (amidate)
Parenteral ;2 mg/ mL untuk suntikan
5.
Halutan (generic, fluothane)
Cairan 125, 250 mL untuk inhalasi
6.
Isofluran (floren )
Cairan 100mL untuk inhalasi
7.
Ketamin (ketalan)
Parenteral; 10,15,100 mg/mL untuk suntikan
8.
Lorazepam (generek, aktivam, alzavam)
Ora, tablet 0,5;1,2mg
Parenteral;2,4mg/ mL untuk sutikan
9.
Meto hek sital (brevital sodium)
Parenteral: 0,5; 2,5;5 g, serbuk untuk suntikan
10.
Mektoksifluran (penthrane)
Cairan ; 15,125 mL untuk inhalasi
BAB III
ANESTESI LOKAL
A. Farmakologi dasar anestesis lokal
Kimiawi
Umumnya obat anestesis lokal terdiri dari sebuah gugus
lipolifit (biasanya sebuah cincin aromatik) yang diberikatan dengan sebuah
rantai perantara (umumnya termasuk suatu ester atau sebuah amida) yang terikat
pada satu gugus terionisasi. Aktivitas optimal memerlukan keseimbangan yang tepat
antara gugus lipofilik dan kekuatan hidrofilik. Penambahan sifat fisik molekul,
maka konfirgurasi stereokimia specifik menjadi penting, misalnya perbedaan
potensi stereoisomer telah diketahui untuk beberapa senyawa. Karena ikatan
ester (seperti prokain) lebih mudah terhidrolisis dari ikatan amida, maka lama
kerja ester biasanya lebih singkat.
1. Farmakokinetik
Anestesi lokal biasanya diberikan secara suntikan ke dalam
daerah serabut saraf yang akan menghamba. Oleh karena itu, penyerapan dan
distribusi tidak terlalu penting dalam memantau mula kerja efek dalam
menentukan mula kerja anestesi dan halnya mula kerja anestesis umum terhadap
SPP dan toksisitasnya pada jantung. Aplikasi topikal anestesi lokal
bagaimanapun juga memerlukan difusi obat guna mula keja dan lama kerja efek
anestesinya.
v Absorbsi
Absorbsi sistemik suntikan anestesi lokal dari tempat
suntikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain dosis, tempat suntikan,
ikatan obat jaringan, adanya bahan vasokonstriktor, dan sifat fisikokimia obat.
Aplikasi anestesi lokal pada daerah yang kaya vaskularisasinya seperti mukosa
trakea menyebabkan penyerapan obat yang sangat cepat dan kadar obat dalam darah
yang lebih tinggi dibandigkan tempat yang perfusinya jelek, seperti tendo.
Untuk anestesi regio yang menghambat saraf yang besar, kadar darah maksimum
anestesi lokal menurun sesuai dengantempat pemberian yaitu: interkostal
(tertinggi) > kaudal > epidural > pleksus brankialis > saraf
insciadikus (terendah).
Bahan
vasokonstriktor seperti epinefrin mengurangi penyerapan sistematik anestesi
lokal dari tempat tumpukan obat dengan menguragi aliran darah di daerah ini.
Keadaan ini menjadi nyata terhadap obat yang massa kerjanya singkat atau
menengah seperti prokain, lidokain, dan mepivakain (tidak untuk prilokain).
Ambilan obat oleh saraf diduga diperkuat oleh kadar obat lokal yang tinggi ,dan
efek dari toksik sistemik obat akan berkurang karena kadar obat yang masuk
dalam darah hanya 1/3-nya saja
v Distribusi
Anestesi lokal amida disebar meluas dalam tubuh setelah
pemberian bolus intravena. Bukti menunjukkan bahwa penyimpanan obat mungkin
terjadi dalam jaringan lemak.setelah fase distribusi awal yang cepat, yang
mungkin menandakan ambilan ke dalam organ yang perfusinya tinggi seperti otak,
ginjal, dan jantung, dikuti oleh fase distribusi lambat yang terjadi karena
ambilan dari jaringan yang perfusinya sedang, seperti otot dan usus. Karena
waktu paruh plasma yang sangat singkat dari obat tipe estesr (lihat bawah),
maka distribusinya tidak diketahui.
v Metabolisme dan ekskresi
Anestesi lokal diubah dalam hati dan plasma menjadi metabolit
yang mudah larut dalam air dan kemudian diekskresikan ke dalam urin. Karena
anestesi lokal yang bentuknya tak bermuatan mudah berdifusi melalui lipid, maka
sedikit atau tidak ada sama sekali bentuk netralnya yang diekskresikan kerana
bentuk ini tidak mudah diserap kembali oleh tubulus ginjal.
Tipe ester anestesi lokal dihidrolisis sangat cepat di dalam
darah oleh butirilkolinesterase (pseudokolinesterase). Oleh karena itu, obatini
khas sekali mempunyai waktu paruh yang sangat singkat, kurang dari 1 menit
untuk prokain dan kloroprokain.
Penurunan
pembersihan anestesi lokal leh hati ini harus diantisipasi dengan menurunkan
aliran darah kehati. Sebagai contoh, pembersihan lidokain oleh hati pada
binatang yang dianestesi dengan halotan lebih lambat dari pengukuran binatang
yang diberi nitrogen oksida dan kurare. Penurunan pembersihan ini berhubungan
penurunan aliran darah ke dalam hati dan penekanan mikrosom hati karena
halotan. Propranolol dapat memperpanjang waktu paruh anestesi lokal amida.
v Mekanisme kerja
Membran yang mudah terangsang dari akson saraf, mirip dengan
membran otot jantung dan badan sel saraf, mempertahankan pontesial transmembran
sekitar-90 sampai-60 mV. Saluran natrium terbuka, dan arus natrium yang masuk
cepat kedalam sel dengan cepat mendeplorisasi membran ke arah keseimbangan
potensial natrium (+40). Sebagai akibat ari deplorisasi ini, maka saluran
natrium menutup (inaktif) dan saluran kalium terbuka. Alran kalium keluar sel
,mendeplorisasi membran ke arah keseimbangan potensial kalium (sekitar-95 mV);
terjadi lagi repolarisasi saluran natrium menjadi keadaan istirahat. Sifat ini
mirip dengan yang terjadi pada jantung, dan anestesi lokalpun mempunyai efek
yang sama pada kedua jaringan tersebut.
Fungsi saluran natrium dapat diganggu dengan beberapa cara.
Racun biologi seperti batrakotoksin, aksonitin, veratidin, dan beberapa bisa
skorpion meningkat reseptor di dalam saluran dan mencegah inaktivasinya.
Akibatnya influks natrium ke dalam sel lebih lama melalui saluran dibandingkan
dari hambatan konduksi, sehingga beberapa peneliti menyatakan bahwa zat diatas
sebagai agonis pada saluran natrium. Racun larut tetrodoktosin dan saksitoksin
menghambat saluran ini dengan berikatan pada reseptor saluran dekat permukaan
ekstrasel. Efek kliniknya sepintas mirip dengan efek anestesi lokal walaupun
bagian reseptornya agak beda. Anestesi lokal meningkatkan reseptor ujung
intrasel saluran adanya bahan vasokonstriksiktor, dan sifat fisikokimia obat.
Aplikasi anestesi lokal pada daerah yang kaya askularisasinya seperti mukosa
trakea menyebabkan penyerapan obat yang sangat cepat dan kadar obat dalam darah
yang lebih tinggi dibandingkan tempat yang diperfusinya jelek, seperti tendo.
Bila peningkatan konsentrasi secara progresif anestesi lokal
digunakan pada satu serabut saraf, nilai ambang eksitasinya meningkat, konduksi
impuls melambat, kecepatan munculnya potensial aksi mengecil,dan akhirnya
kemapuan melepas satu potensial aksila hilang. Efek yang bertambah tadi
merupakan ikatan anestesi lokal terhadap banyak dan makin banyak saluaran
natrium. Jika arus ini dihambat mebilih titik krirts saraf, maka propagasi yang
melintas daerah yang dihambat ini tidak mungkin terjadi lagi. Pada dosis terkecil
yang dibutuhkan untuk menghambat ropagasi, potensial istirahat.
Di antara depolarisasi akson, sebagian saluran natrium pulih
dari penghambat obat yang ini 10-100 kali lebih lambat dari pada kepulihan
saluran dari inaktivasi normal, seperti yang nampak pada membran jantung.
Akibatnya, masa refrakter diperpanjang dan saraf hanya dapat menyalurkan
sedikit impuls saja.
Walaupun anestesi lokal dapat dibukitan menghambat sejumlah
saluran lainnya, termasuk saluran sinaptik perantara kimiawi, belum ada bukti
yang menyakinkan bahwa kerja demikian berperan penting pula dalam efek klinik
dari obat anestesi lokal. Namun, penelitian percobaan pada seabut saraf dan sel
otot jantung menunjukkan bahwa obat yang memperpanjang potensial aksi dapat
meningkatkan dengan jelas kepekaan saluran natrium terhadap penghambatan
anestesi lokal (Drachman, 1991). Hal ini dapat diterangakan dengan pengamatan
uraian di atas, yaitu afinitas saluran yang disktifkan dan diinaktifkan
terhadap anestesi lokal lebih besar dari pada afinitas saluran dalam keadaan
isirahat.
Karakteristik struktur-aktivitas anestesi lokal
Makin kecil dan makin banyak molekul lipofilik, makin cepat
pula kecepatan interaksi dengan reseptor saluran natrium. Potensi mempunyai
hunbungan positif pula dengan larutan lipid selama obat menahan kelarutan air
yang cukup untuk berdifusi ke tempat kerja. Lidokain, prokain, dan mepivakin
lebih larut dalam air dibandingkan tetrakain, etidokain, dan bupivakain. Obat
yang terakhir lebih kuat dengan masa kerja yang panjang.obat terikat lebih
ekstensif pada protein dan akan menggeser atau digeser dari tempat ikatannya
oleh obat-obat lain.
v Aksi terhadap saraf
Karena anestesi lokal mampu menghambat semua saraf, maka
kerjanya tidak saja terbatas pada hilangnya sensasi sakit dan nyeri yang
diinginkan. Walaupun kelumpuhan motor pada suatu saat diperlukan juga, namun
keadaan demikian membatasi kemapuan pasien untuk kerja sama, misalnya selama
persalinan. Selama anestesi sinal, kelumpuhan motor justru merusak aktivitas
pernapasan dan penghambatan saraf otonom dapat menimbulkan hipotensi, namun
demikian,perbedaan tipe serabut saraf akan membedakan dengan nyata kepekaannya
terhadap penghambatan anestesi lokal atas dasar pengukuran dan mielinasi.
·
Efek diameter
serabut
Anestesi lokal lebih mudah menghambat serabut ukuran kecil
karena jarak dimana propragasi suatu impuls listrik merambat secara pasif pada
serabut tadi (berhubungan dengan kostan ruang) jadi lebih singkat. Selama mula
kerja anestesi lokal, bila bagian pendek serambut dihambat, maka serabut
berdiameter kecil yang pertama kali gagal menyalurkan impuls. Terhadap serabut
bermielin, setidaknya tiga nodus berturut-turut dihambat oleh anestesi lokal
untuk menghentikan propagasi impuls. Makin tebal serabut saraf, makin terpisah
jauh nodus tadi-yang menerangkan, sebagian tahanan yang lebh besar tadi. Saraf
bermielin cenderung dihambat sebelum saraf yang tidak bermielin pada ukuran
yang sama. Dengan alasan ini, serabut preganglionik B dapat dihambat sebelum
serabut C kecil yang tidak bermielin.
·
Efek frekuensi
letupan
Alasan penting lain terhadap mudahnya penghambatan serabut
sensoris mengikuti langsung dari mekanisme kerja yang bergantungpada keadaan
anestesi lokal. Hambatan oleh obat anestesi lokal dan makin lamanya
depolarisasi. Serabut sensoris, terutama serabut nyeri, ternyata berkecepatan
letupan tinggi dan lama potensi aksi yang relatif lama (medekaiti 5 milidetik).
Serabut motor meletup pada kecepatan yang lebih lambat dengan potensial aksi
yang singkat (0,5 milidetik). Serabut delta dan C adalah serabut berdiameter
kecil yang terlibat pada transmisi nyeri berfrekuensi tinggi. Oleh karena itu,
serabut ini dihambat lebih dahulu dengan anestesi lokal kadar rendah dari pada
serabut A alfa.
·
Efek posisi saraf
dalam bundel saraf
Susunan anatomi serabut menciptakan pula aturan tertentu
seperti di atas dengan perkeculian terhambatan berbagai serabut yang terletak
di bagian tepi bundel. Pada sekumpulan saraf yang besar, saraf motor biasanya
terletak melingkari bundel. Dan oleh karena itu saraf ini akan terpapar lebih
dahulu bila anestesi lokal diberikan secara suntikan kedalam jaringan sekitar
saraf. Akibatnya, bukan tidak mungkin saraf motor akan terhambat sebelum
[enghambatan motor dalam bundel besar. Pada ektrimitas, serabut sensoris proksimal
terletak menyelimuti badan saraf, di mana persarafan sensoria distal terletak
di tengah. Jadi, selama infiltrasi hambatan saraf besar, anestesi menyebar ke
distal sesuai dengan penetrasi obat ke dalam bagian tengah bundel saraf.
·
Efek terhadap
membran yang mudah terangsang lainnya
Anestesi lokal mepunyai efek menghambat tot saraf yang lemah
dan tidak begitu penting dalam klinik. Namun, efeknya terhadap membran sel otot
jantung mempunyai makna klinik yang penting. Beberapa berguna sebagai obat
antiaritmia pada kadar rendah dibandingkan kadarnya untuk menghambat saraf, dan
semua anestesi lokal dapat menimbulkan aritmia pada kadar yang cukup penting.
B. Farmakologi klinik anestesi lokal
Anestesi lokal menyebabkan analgesia sementara tetapi lenkap
dari bagian tubuh yang berbatas tegas. Cara pemberian biasanya dengan aplikasi
topikal, suntikan pada daerah akhiran saraf perifer dan bundel batang saraf dan
instilasi ke dalam jaringan epidural dan ruang subarakhnoid yang mengelilingi
medula spinalis. Selain itu, hambatan serabut simpatis otonom dapat digunakan
untuk mengevaluasi peran tonus simpatis pada pasien dengan vasopasme perifer.
Pilihan anestesi lokal untuk prosedur tertentu biasanya atas
lama kerja obat yang dibutuhkan. Prokain dan kloroprokain bekerja singkat:
lidokain, mepivakain, dan prilokain masa kerjanya mengah sedangkan tetrakain,
bupivakain, dan etiokain bekerja lama.
Mulai kerja anestesi lokal kadang dapat dipercepat dengan
menggunakan larutan jenuh dengan CO2 (karbonasi) kadar CO2 jaringan yang tinggi
menyebarkan asidosis intraselular (CO2 mudah melintas membran), yang kemudian
menimbulkan tumpulkan bentuk kation anestesi lokal.
1. Toksisitas
Seharusnya obat anestesi lokal diserap dari tempat pemberian
obat. Jika kadar obat dalam darah meningkat terlalu tinggi, maka akan timbul
efek pada berbagai sistem organ.
·
Sistem saraf
pusat
Sejak
zaman prasejarah, penduduk asli peru telah mengunyah daun tumbuhan erythoxylon
coca, sumber kokain, untuk, untuk memperolehperasaan nyaman dan menguragi
keletihan. Efek SSP yang kuat dapat diperoleh dengan menyedot bubuk kokain.
Kokain kini telah menjadi satu penyalahgunaan obat yang paling banyak
digunakan. Anestesi lokal lainnya tidak memiliki efek euforia kokain. Namun,
beberapa penelitian menunjukkan b ahwa beberapa pemakai ketagihan kokain tidak
dapat membedakan antara pemberian kokain intranasal dengan lidokain intranasal.
Efek SSP lainnya termasuk ngantuk, kepala terasa ringan,
gangguan visual dan pendengaran, dan kecemasan. Pada kadar yang lebih tinggi,
akan timbul pula nistagmus dan mengigil. Akhirnya kejang toni klonik yang terus
menerus diikuti oleh depresi SSP dan kematian yang terjadi untuk semua anestesi
lokal termasuk kokain. Anestesi lokal nampaknya depresi jalur penghambatan
kortikal, sehingga aktivitas komponen eksitasi sisi sepihak akan muncul.
Tingkat transisi eksitasi tak seimbang ini akan diikuti oleh depresi SPP
umumnya bila kadar anestesi lokal dalam darah lebih tinggi lagi.
Reaksi toksik yang paling serius dari obat anestesi lokal
yang timbulnya kejang karena kadar obat dalam darah yang berlebihan. Keadaan
ini dapat dicegah dengan hanya memberikan anestesi lokal dalam dosis kecil
sesuai dengan kebutuhan untuk anestesi yang adekuat saja. Bila harus diberikan
dalam dosis besar, maka perlu ditambahkan premedikasi dengan benzodiazepin;
seperti diazepam, 0,1-0,2 mg/kg parenteral untuk mencegah bangitan kejang. Bila
kejang sudah terjadi, maka perlu untuk mencegah hipoksemia dan asidosis.
Walaupun pemberian oksigen tida dapat mencegah hiperroksemia setelah munculnya
kejang. Sebaliknya, hiperkapnia dan asidosis turut memperberat kejang.
Hiperventilasi dapat meningkatkan pH darah, yang kemudian akan menurunkan kadar
kalium ekstrasel. Hal ini akan menghiperpolarisasi potensial transmembran
akson, yang cocok untuk keadaan istirahat atau afinitas rendah saluran natrium,
sehingga toksisitas anestesi lokal berkurang.
Kejang akibat anestesi lokal dapat diobati pula dengan
barbiturat kerja singkat dosis kecil, seperti tiopental, 1-2 mg/kg secara
intravena, atau azepam, 0,1 mg/kg intravena. Manifestasi otot dapat ditekan
dengan obat penyakat otot saraf kerja singkat, seperti suksinilkolin tidak
memperbaiki menifestasi kortikal pada EEG pada kasus pemberian suksinilkolin
dan ventilasi mekanik dapat mencegah aspirasi paru dari cairan lambung dan
mempermudah terapi hiperventilasi.
·
Sistem saraf
perifer (neurotoksisitas)
bila diberikan dalam dosis yang sangat berlebihan, semua
anestesi lokal akanmenjadi toksik terhadap jaringan saraf. Beberapa laporan
menunjukkan kasus defesit sensoris dan motor yang belanjut setelah kecelakan
anestesi spinal dengan klopoprokain volume besar. Apakah klopoprokain memang
lebih neurotoksik dibandingkan denga anestesinya belum bisa dipastikan.
·
Sistem
kardiovaskuler
Efek kardiovaskular anestesi lokal akibat sebagian dari efek
langsung terhadap jantung dan menbran otot polos serta dari efek secara tidak
langsung melaluai saraf otonom. Seperi uraian dalam anestesi lokal menhambat
saluran natrium jantung sehingga menekan aktivitas pacu jantung, eksitabilitas,
dan konduksi jantung menjadi normal. Dengan perkecualian kokain, obat anestesi
lokal menekan pula kekuatan kontaksi jantung sehingga terjadi dilatasi
arteriol, di mana kedual efek ini akan menimbulkan hipotensi. Walaupun kolaps
kardiovakular dan kematian biasanya timbul setelah pemberian dosis yang sangat
tinggi, kadang-kadang dapat pula terjadi dalam dosis kecil yang diberikan
secara anestesi inflitrasi
Seperti catatan di atas, kokain berbeda dengan anestesi lain
dalam hal efek kardiovaskularnya. Hambatan ambilan kembali norepineprin dapat
menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi. Kokain dapat pula menyebkan aritmia
jantung. Efek vasokostriksi kokain akan menimbulkan iskemia pada mukosa hidung,
dan pada pemakai jangka panjang, bahkan dapat terjadi tukak lapisan mukosa dan
kerusakan eptum hidung. Sifat vasokonstriksi kokain ini dimanfaatkan secara
klinik untuk mengurangi perdarahan akibat kerusakan mukosa nasofaring.
Bupivakain lebih kardiotoksik daripada anestesi lokal
lainnya. Beberapa kasus menunjukkan bahwa kelalaian suntikan bupivakain
intravena intravena tidak saja menyebabkan kejang tetapi juga kolaps
kardiovaskular, di mana tindakan resusitasi sangat sulit dilakukan dan tidak
akan berhasil. Beberapa penilitian pada binatang sepakat tentang ide bahwa
bupivakain memang lebih toksik bila diberikan secara intervena dibandingkan
anestesi lokal lainnya. Hal ini menggambarkan bahwa saluran natrium bupivakain
sangat diperkuat oleh masa kerja yang kuat dan sangat lama pada seln jantung
(dibandingka serabut saraf lain), dan tidak seperti lidokain, bupivakain
menumpuk jelas pada denyut jantung normal. Penelitian berikutnya menunjukkan
bahwa gambaran EKG yang sangat umum pada pasien yang diberi bupivakain ternyata
irama idioventrikular melambat dengan kompekls QRS yang melebar dan disosiasi
elektromekanik. Resusitasi pernah berhasil dengan bantuan kardiopulmoner
standar- termasuk koreksi asidosis yang jitu dengan hiperventilasi dan
pemberian bikarnoat-dan pemberian epineprin, atropin, dan bretilium yang agresif.
Ropivakain adalah anestesi lokal amida yang baru dan masih diteliti dengan efek
anestesi lokalnya sama dengan bupivakain. Bukti awal menunjukkan bahwa
toksisitas kardiovaskularnya lebih kecil daripada bupivakain.
o darah
Pemberian prilokain dosis besar (>`10mg/kg) selama
anestesi regional akan menimbulkan penumpukan metabolit toluidin, suatu zat
pengoksidasi yang. Bila kadar methemoglobin ini cukup besar (3-5 mg/dL), maka
pasien akan nampak sianotik dan warna menjadi coklat. Kadar methemoglobin demikian
menimbulkan dekompensasi pada pasien dengan penyakit jantung atau paru sehingga
perlu pengobatan segera. Tindakan untuk menguragi kadar methemoglobin dengan
metilin biru, asam askobat, kurang memuaskan, dapat diberikan secara intravena
agar methemoglobin segera dikonversi menjadi hemoglobin.
o Reaksi alergi
Anestesi lokal tipe ester dimetabolisir menjadi turunan asam
p aminobenzoat. Metabolit ini dapat menimbulkan reaksi alergi pada sekelompok
kecil populasi. Amida tidak dimetabolisir menjadi asam p- aminobenzoat,
sehingga reaksi alergi tipe amida ini sangat jarang sekali terjadi.
OBAT YANG TERSEDIA
1. Benzokain
(generik,lain-lain) Topikal: krim 5,6%; 6,20%; salep 5%; lotion 0,5%; semprot20%
2. Bupivakain (generik,
marcaine, sensorcaine) Parentetal: 0,25, 0,5, 0,75% untuk disuntik; 0,25, 0,5,
0,75% dengan 1:200000
3.
Butamben pikrat (butesin picrate) Topikal: salep 1%
4.
Kloroprokain (nesacaine) Parentetal: 1,2,3,% untuk suntikan
5.
Kokain (generik) Topikal: larutan 40, 100 mg/ml: bubuk 5,25g; tablet mudah
larut 135 mg
6.
Dibukain (generik, nupercainal) Topikal : krim 0,5%; salep 1%
7.
Diklonin (dyclone) Topikal: larutan 0,5, 1
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Anestesi umum
Stadium anestesi umum meliputi “analgesia, amnesia, hilangnya
kesadaran”, terhambatnya sensorik dan reflex otonom, dan relaksasi otot rangka.
Untuk menimbulkan efek ini, setiap obat anestesi mempunyai variasi tersendiri
bergantung pada jenis obat, dosis yang diberikan, dan keadaan secara klinis.
Anestetik yang ideal akan bekerja secara tepat dan baik serta mengembalikan
kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan.
-
Jenis obat anestesi umum.
Umumnya obat anestesi umum diberikan secara inhalasi atau
suntikan intravena.
• Anestetik inhalasi
• Anestetik intravena
-
Tanda dan stadium anestesi
Gambaran tradisional tanda dan stadium anestesi (tanda
guedel) berasal terutama dari penilitian efek diatil eter, yang mempunyai mula
kerja sentral yang lambat karena kelarutannya yang tinggi didalam darah.
Stadium dan tanda ini mungkin tidak mudah terlihat pada pemakaian anestetik
modern dan anestetik intravena yang bekerja cepat.
Ø Secara
tradisional, efek anestetik dapat dibagi 4 stadium peningkatan dalamnya depresi
susunan saraf pusat, yaitu :
•
Stadium analgesi
•
Stadium terangsang
•
Stadium operasi
•
Stadium depresi medula oblongata
2. Anestesi lokal
Anestesi lokal menghambat impuls konduksi secara revesibel
sepanjang akson saraf dan membran eksitabel lainnya yang menggunakan saluran
natrium sebagai alat utama pembangkit potensi aksi. Secara klinik, kerja ini
dimamfaatkan untuk menghambat sensasi sakit dari-atau impuls vasokontstriktor
simpatis ke-bagian tubuh tertentu. Kokain, obat anestesi pertama, yang
diisolasi oleh niemann pada tahun 1860.
·
Kimiawi
Umumnya obat anestesis lokal terdiri dari sebuah gugus
lipolifit (biasanya sebuah cincin aromatik) yang diberikatan dengan sebuah
rantai perantara (umumnya termasuk suatu ester atau sebuah amida) yang terikat
pada satu gugus terionisasi. Aktivitas optimal memerlukan keseimbangan yang
tepat antara gugus lipofilik dan kekuatan hidrofilik.
·
Farmakokinetik
Anestesi lokal biasanya diberikan secara suntikan ke dalam
daerah serabut saraf yang akan menghamba. Oleh karena itu, penyerapan dan
distribusi tidak terlalu penting dalam memantau mula kerja efek dalam
menentukan mula kerja anestesi dan halnya mula kerja anestesis umum terhadap
SPP dan toksisitasnya pada jantung.
·
Farmakodinamik
Mekanisme kerja
Membran yang mudah terangsang dari akson saraf, mirip dengan
membran otot jantung dan badan sel saraf, mempertahankan pontesial transmembran
sekitar-90 sampai-60 mV. Saluran natrium terbuka, dan arus natrium yang masuk
cepat kedalam sel dengan cepat mendeplorisasi membran ke arah keseimbangan
potensial natrium (+40). Sebagai akibat ari deplorisasi ini, maka saluran
natrium menutup (inaktif) dan saluran kalium terbuka.
DAFTAR PUSTAKA
-
Ganiswara, Silistia G. 1995. Farmakologi dan Terapi (Basic
Therapy Pharmacology). Alih Bahasa: Bagian Farmakologi F K U I. Jakarta
-
Gunawan
s, dkk. (2007). Farmakologi Dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Gaya Gon
-
Katzung
G, Betram. (1997). Farmakologi Dasar Dan Klinik. Edisi 6. Jakarta:
EGC
-
Purwanto
H, dkk. (2008). Data Obat Di Indonesia. Edisi 11. jakarta: PT
Muliapurna jaya terbit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar